Desa Cancing – Gunung Ratu terletak di ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut, berada di wilayah Kecamatan Ngimbang, Lamongan. Secara Geografis, daerah tersebut berbatasan dengan Kabupaten Jombang dan Mojokerto (tempat pusat kerajaan Majapahit).
Penulis sendiri kebetulan dilahirkan di Desa Sekidang, sekitar 10 km sebelah utara Gunung Ratu. Sewaktu kecil, saat itu Desa Sekidang belum ‘digusur’ menjadi areal Waduk Gondang, penulis sedikit banyak mendengar cerita rakyat tentang Gajah Mada. Beberapa diantaranya Tersingkirnya Dewi Andongsari (Ibu Gajah Mada) dari Keraton Majapahit, Peristiwa Kucing dan Ular, Tempat Joko Modo (Gajah Mada) mengembala kerbau (angon kebo), dan beberapa kisah masa kecil Joko Modo. Waktu SD dulu, lebih dari 20 tahun yang lalu, selain menggembala sapi dan cari kayu bakar, penulis sering ikut kegiatan Pramuka. Yang paling berkesan ialah saat Penjelajahan. Sekali waktu, rute penjelajahan yaitu Desa Sekidang, Jegreg, Plapak dan Cancing (Gunung Ratu).
Untuk menuju ke makam tersebut, harus melewati tangga undakan. Saat itu, saya dan beberapa teman menghitung berapa undakan yang dilewati. Hasilnya, bervariasi. Sampai di atas, saya melihat makam Dewi Andongsari kelihatan sering diziarahi orang, nampak dari banyaknya taburan bunga. Hal yang sama juga nampak ditempat Kucing dikubur—yang ditandai dengan bongkahan batu. Menurut cerita yang beredar, situs pemakaman tersebut sering disalahgunakan, misal mencari ilmu atau juga ngalap berkah.
Kondisi pemakaman saat ini, jelas jauh berbeda. Lokasi tersebut sudah direhab oleh Pemkab Lamongan dan difungsikan sebagai Peninggalan Situs Bersejarah sekaligus tempat Wisata Sejarah. Setiap hari tempat tersebut dikelola dan dirawat oleh Mbah Sulaiman, seorang juru kunci dari Makam tersebut. Menurut Mbah Sulaiman inilah bukti fisik akan keberadaan asal usul Gajah Mada. Gunung atau biasa juga disebut bukit Ratu, dulunya merupakan petilasan dari Dewi Andong Sari yang diusir dari Majapahit karena iri hati dari permaisuri Dara Petak dan Dara Jingga karena dikhawatirkan memiliki seorang putra. Di bukit inilah tempat Dewi Andongsari menjalani hari-harinya sampai akhirnya melahirkan Joko Modo (Gajah Mada).
Kisah berawal ketika pada suatu hari Desa Cancing kedatangan sekelompok prajurit Majapahit yang sedang mengiringkan istri selir Raden Wijaya yang sedang mengandung. Sekelompok prajurit tersebut mendapat tugas rahasia untuk menyingkirkan (mungkin membunuh) Dewi Andong Sari, tapi karena suatu hal Dewi Andong Sari tidak dibunuh melainkan hanya disembunyikan di desa Cancing yang terletak di dalam hutan jauh dari pusat pemerintahan majapahit (± 35 km arah barat laut dari Trowulan). Jalur desa tersebut dekat dengan jalur perjalanan Majapahit-Kadipaten Tuban.
Saat itu, desa tersebut dipimpin oleh Ki Gede Sidowayah yang juga mempunyai keahlian membuat senjata pusaka (Mpu). Setelah usia kandungan cukup maka lahirlah bayi laki-laki, tapi sayang Dewi Andong Sari tidak berumur panjang. Pada saat putranya masih kecil ia meninggal dunia dan dimakamkan di tempat tersembunyi yaitu di atas bukit dan di tengah rimbunnya hutan. Bukit itulah yang kemudian lebih dikenal dengan nama Gunung Ratu.
Pernah pada suatu ketika, saat Gajah Mada masih bayi, Dewi Andongsari turun dari bukit hendak mengambil air di telaga (sendang) yang terletak di bawah bukit. Gajah Mada ditinggal sendirian, hanya ditemani kucing setia milik Dewi Andongsari. Pada saat itulah seekor ular hendak mematok Gajah Mada. Kucing milik Dewi Andongsari menghalanginya sehingga terjadi perkelahian. Si kucing berhasil menggigit ular hingga mati. Beberapa saat kemudian, Dewi Andongsari datang dan langsung melihat kucing yang mulutnya penuh darah. Dewi Andongsari menyangka bahwa kucing tersebut telah menggigit Gajah Mada. Kucing itu pun kemudian dia pukul. Tapi Dewi Andongsari pun kemudian tersadar ketika tak jauh dari bayinya, terlihat bangkai ular. Dewi Andongsari menyesal bukan main, apalagi tak lama kemudian kucing itupun mati.
Sampai sekarang keberadaan telaga tersebut masih ada, demikian juga dengan tempat dikuburkannya kucing tersebut.
Tak lama setelah peristiwa itu, Dewi Andongsari pun meninggal. Oleh warga desa Cancing jenazahnya dimakamkan di bukit tersebut, tak jauh dari kuburan kucing kesayangannya. Bayi Gajah Mada sendiri kemudian diambil oleh Ki Gede Sidowayah…
Ki Gede Sidowayah tidak mempunyai istri. Dia merasa kasihan dan khawatir bayi tersebut tidak terurus dengan baik. Oleh karena itu, bayi tersebut diserahkan pada adik perempuannya (janda Wara Wuri) yang tinggal di desa Modo. Bayi laki-laki tersebut tumbuh sehat dan cerdas yang kemudian dipanggil dengan nama Joko Modo (pemuda dari Modo).
Seperti pemuda desa pada umumnya, Joko Modo pun ikut bekerja membantu orang tua angkatnya yaitu sebagai pengembala kerbau. Karena kecakapanya Joko Modo oleh sesama teman penggembala dianggap sebagai pemimpin. Meskipun hanya sebagai pemimpin sekelompok anak gembala, ternyata bakat kepemimpinannya mulai nampak.
Untuk memudahkan mengawasi kerbau-kerbau yang sedang digembala tersebut, Joko Modo dan kawan-kawan gembala lainnya naik di atas bukit kecil sehingga jarak pandangnya menjadi jauh dan luas. Bukit tersebut sampai sekarang masih ada dan oleh masyarakat setempat dinamakan Sitinggil (Siti= tanah, Inggil= tinggi) artinya tanah yang tinggi.
Pada saat Joko Modo diatas bukit sambil mengawasi kerbau-kerbaunya itu tidak sengaja ia pun kadang-kadang melihat iring-iringan prajurit Majapahit menuju Tuban atau sebaliknya dari Tuban menuju majapahit. Hal ini terjadi karena letak Modo memang berada diantara Majapahit dan Tuban.
Dari seringnya melihat iring-iringan prajurit Majapahit yang gagah-gagah tersebut membuat hati Joko Modo tertarik, kelak suatu saat ia ingin menjadi prajurit Majapahit juga. Ki Gede Sidowayah sendiri diberi hadiah tanah perdikan di Songgoriti Malang. Hadiah tersebut nampaknya sebagai penghargaan pada Ki Gede yang diam-diam berhasil menyelamatkan Dewi Andongsari dan memelihara bayinya. Ki Gede Sidowayah tidak lupa mengajak pula Joko Modo ke Songgoriti, dengan pertimbangan agar jiwa, sikap, serta cara berpikir Joko Modo yang cerdas dan cakap bisa berkembang dengan baik. Hal ini dimungkinkan karena Songgoriti daerahnya lebih subur dan makmur jika dibandingkan dengan Modo atau Ngimbang Lamongan yang letaknya jauh di dalam lebatnya hutan belantara.
Karena kecakapan dan kepandaiannya tersebut dan didukung oleh pengaruh Ayah angkatnya yaitu Ki Gede Sidowayah maka Joko Modo akhirnya tercapai cita-citanya yaitu menjadi prajurit Majapahit, yang kelak Kemudian kariernya terus menanjak sehingga menjadi Patih Gajah Mada, seorang tokoh besar di Kerajaan Majapahit.
*
Berikut ini analisa seputar Legenda Gajah Mada dari Lamongan:
1. Peristiwa penculikan Dewi Andong sari dari Keraton Majapahit (1299 M)
Adanya peristiwa rencana pembunuhan terhadap istri Selir Raden Wijaya yang sedang mengandung yaitu Dewi Andong Sari sangat mungkin terjadi atas kehendak Putri Indreswari yaitu Dara Petak yang berasal dari Melayu.
Dara Petak adalah Putri Melayu yang datang ke Majapahit bukan atas kehendak sendiri, melainkan dibawa oleh Kebo Anabang (Pemimpin ekspedisi Pamalayu) sebagai putri rampasan sebab negerinya ditaklukkan oleh Singosari / Majapahit. Ketika ia diperistri oleh Raden Wijaya tentu bukan bukan atas dasar cinta tapi karena terpaksa karena itu punya gagasan dalam hati yaitu Melayu bisa tunduk pada Majapahit tapi keturunan Melayu yaitu anaknya suatu saat harus jadi Raja Majapahit.
Ketika ia melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Kalagemet (Jayanegara) tahun 1294 M. Ia sangat senang, sebab kedua anak Raden Wijaya permaisuri yang lain semuanya wanita, yaitu : Diyah Tribhuana Tungga Dewi dan Diyah Wiyat Sri Raja Dewi. Dengan demikian cita-citanya pasti terwujud, sebab sepeninggal Raden Wijaya tahta Kerajaan pasti jatuh ke tangan anaknya.
Tapi perasaan gembira itu berubah jadi cemas setelah tahu istri Selir Raden Wijaya yaitu Dewi Andong Sari teryata hamil, jika nanti Dewi Andong Sari melahirkan anak laki-laki tentu akan jadi Bantu sandungan bagi cita-citanya. Karena itu sebelum Dewi Andong Sari melahirkan ia harus segera segera dilenyapkan.
2. Ditinjau dari segi geografis
Posisi Desa Cancing, Ngimbang dengan Trowulan (pusat kerajaan Majapahit) jika ditarik garis lurus 35 km, suatu jarak yang masuk akal sebagai jalur pelarian untuk tempat sembunyinya Dewi Andong sari, apalagi Cancing berada di dalam lebatnya hutan. Demikian juga dengan letak Modo (sekarang Kec. Modo). Diceritakan, Joko Modo sering melihat iring-iringan prajurit Majapahit menuju Tuban atau sebaliknya dari Tuban menuju Majapahit, itu sangat masuk akal sebab Modo memang terletak di antara jalur Majapahit dengan Tuban.
3. Ditinjau dari segi politik
Pada saat pemberontakan Ra Kuti (1319) Gajah Mada yang saat itu menjadi kepala pasukan Bhayangkara menyelamatkan Raja Jaya Negara dengan sembunyi di Desa Badander. Para sejarawan banyak yang menduka bahwa Badander yang dimaksud itu adalah Dander di Bojongoro, padahal tidak. Sebab ada lagi nama Desa yang namanya persis sepert yang disebut dalam Negara Kertagama yaitu Badander (buah dander) yang berada di kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang.
Jarak antara Desa Badander dengan Cancing, Ngimbang hanya 10 km, sedang jarak Badander Trowulan 25 km, sehingga sangat mungkin yang dimaksud Desa Badander tempat persembunyian Raja jayanegara kerena adanya pemberotakan Rakuti adalah Badander tersebut (bukan Dander Bojonegoro).
Suatu kebiasaan, jika ada kerusuhan di ibu koa maka para pembesar ibu kota berusaha menyelamatan diri ke Daerah asalnya yaitu daerah dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan pertimbangan itu, tentu mendapat dukungan dan perlindungan dari masyarakat sekitarnya, di samping juga menguasai medan sehingga banyak membantu untuk perjuangan berikutnya.
Demikian juga halnya dengan Gajah Mada, kemungkinan besar benarya ia tidak senaja sembunyi di Desa Badander melainkan ke Desa Cancng (Ngimbang) tempat ia berasal. Tapi karena kondisinya pada saat itu tidak memungkinkan disamping letak Badander dengan Ngimbang sangat dekat apalagi adanya jaminan perlindungan dari Ki Buyut Badander, maka dipilihnya Badander sebagai tempat persembunyian sementara sambil menyusun siasat untuk merebut kembali tahta kerajaan dari pemberontak Ra Kuti.
4. Ki Gede Sidowayah mendapat hadiah tanah perdikan di Songgoriti Malang.
Dalam sejarah adalah hal yang wajar jika seseorang mendapat hadiah tanah perdikan dari Raja sebagai imbalan karena orang tersebut berjasa besar pada Raja atau Negara. Demikian juga halnya dengan Ki Gede Sidowayah yang mendapat tanah perdikan di Singgoriti.
Ada dua kemungkinan Ki Gede Sidowayah mendapat tanah perdikan di Songgoriti yaitu :
(a). Sebagai seorang Mpu mungkin Ki Gede Sidowayah pernah membuat sejenis pusaka yang ampuh untuk Raden Wijaya. Tapi kemungkinan ini lemah, sebab diantara banyak pusaka peninggalan Majapahit tdak dikenal buatan Mpu Sidowayah. Disamping itu dalam sejarah belum pernah ada seseorang mendapat hadiah tanah perdikan hanya karena berjasa membuat pusaka untuk Raja.
(b). Karena Ki Gede Sidowayah berjasa besar yaitu menyelamatkan garwo selir R. Wijaya yang sedang mengandung hingga melahirkan dengan selamat. Untuk menjaga kerahasiaan tersebut Ki Gede Sidowayah diberi hadiah tanah perdikan yang letaknya sangat jauh dari Lamongan yaitu di Songgoriti Malang. Sebab jika diketahui bahwa R. Wijaya punya anak laki – laki selain Kalagamet, maka bias timbul masalah besar dalam proses pergantian raja sepeninggalan R. Wijaya nanti. Mungkin kedua inilah yang agak lebih mendekati kebenaran.
5. Peristiwa Tanca tahun 1.328 M (Bhasmi bhuto nangani ratu = 1250 C)
Dalam Pararaton disebutkan selama Ra Tanca menjalankan tugas pengobatan terhadap raja Jayanegara Gajah Mada mengawasinya, begitu Tanca membunuh Jayanegara maka Gajah Mada langsung membunuh Ra Tanca
Dalam Pararaton tersebut dengan jelas mengatakan kalau Jayanegara meninggal karena dibunuh oleh Ra Tanca, kemudian Ra Tanca langsung dibunuh oleh Gaja Mada tanpa proses pengadilan. Kita semua sependapat jika Ra Tanca membunuh Jayanegara karena sakit hati sebab istrinya pernah diganggu oleh Jayanegara. Tapi mengapa Ra Tanca langsung dibunuh oleh Gaja Mada tanpa proses pengadilan? Tidak ada orang mempermasalahkan .
Kalau kita memperhatikan cerita rakyat Ngimbang tentang Joko Modo, sangat mungkin bahwa peristiwa pembunuhan Jayanegara oleh Ra Tanca adalah hasil skenario Gajah Mada sendiri. Sebab ibunda Gajah Mada Yaitu Dewi Andong Sari dilenyapkan dari istana oleh ibunda Jayanegara yaitu Dara Petak. Peristiwa itu tentu sangat menyakitkan hati Gajah Mada, sehingga timbullah niat balas dendam yaitu melenyapkan Jaya negara melalui tangan Ra Tanca, setelah itu Ra Tanca langsung dibunuhnya untuk menutup rahasia selamanya.
6. Peristiwa Bubat tahun 1357 M (Sanga Turangga Paksa Wani = 1279 C)
Ketika raja Hayam Wuruk sudah cukup dewasa untuk menikah, maka dikirimkan ke segala penjuru untuk mencari wanita yang paling cantik, segala lukisan yang dikirimkan ke Majapahit tidak ada yang menarik kecuali lukisan putri Sunda yaitu “ Diyah Pitaloka“. Maka dipinanglah Diyah Pitaloka untuk menjadi permaisuri Raja Hayam Wuruk.
Pada saat upacara pernikahan terjadilah beda pendapat antara Gajah Mada dengan keluarga pihak pengantin putrinya yaitu : Gajah Mada menghendaki agar raja Sunda menyerahkan putrinya kepada Raja Majapahit sebagai upeti, sedang raja Sunda menghendaki upacara pernikahan sebagaimana mestinya, yaitu putrinya harus dijemput oleh keluarga Majapahit denga upacara pernikahan sebagaimana biasanya.
Beda pendapat tersebut tidak dapat diselesaikan maka terjadilah perang yang mengakibatkan terbunuhnya semua orang Sunda termasuk calon permaisuri yaitu Diyah Pitaloka. Peristiwa tersebut terjadi di lapangan Bubat karena itu dinamakan perang Bubat dan terjadi tahun 1256 C /tahun 1357 M. Peristiwa Bubat tersebut jelas kesalahan besar Gajah Mada, akibat tindakan Gajah Mada tersebut tidak saja berakibat gagalnya pernikahan Hayam Wuruk tapi juga meninggalnya calon permaisuri Diyah Pitaloka beserta keluarga pengiringnya Karena kesalahan itu kemudian Gajah Mada diberi sanksi yaitu dibebas tugaskan selama 2 (dua) tahun (1357 1359 M).
Mengapa kesalahan Gajah Mada yang begitu besar terhadap raja hanya mendapat hukuman ringan? Mengapa pula Gajah Mada terlibat begitu dalam soal pernikahan Hayam Wuruk? Banyak kemungkinan untuk menjawabnya, diantara jawaban itu ialah: Hayam Wuruk tahu bahwa Gajah Mada itu pamanya sendiri. Hal ini terjadi karena Gajah Mada adalah adik ibunda Hayam Wuruk (Diyah Tribhuwana Tungga Dewi) satu ayah lain ibu. Gajah Mada anak R. Wijaya dari istri selir (Dewi Andongsari), sedangkan Diyah anak R. Wijaya dari permaisuri Gayatri.
7. Gajah Mada tidak mau kudeta terhadap kekuasaan Hayam Wuruk
Pada saat Hayam Wuruk dinobatkan sebagai Raja, ia baru berusia 17 tahun. Segala urusan pemerintahan diserahkan kepada Gajah Mada. Bahkan sejak masa pemerintahan ibunda hayam Wuruk yaitu Tribhuwana Tungga Dewi urusan pemerintahan seolah diserahkan sepenuhnya kepada Gajah Mada.
Keadaan seperti itu sangat memungkinkan jika Gajah Mada mau kudeta, dalam arti Gajah Mada mau kudeta maka tidak akan ada hambatan yang berarti. Lalu timbul pertanyaan mengapa Gajah Mada tidak melakukan kudeta? banyak kemungkinan untuk menjawab, diantaranya jawaban itu ialah : “karena raja Hayam Wuruk masih Keponakan Gajah Mada sendiri “.
***
(2) Beberapa Pendapat dan Dugaan lain berkaitan Asal-Usul Gajah Mada
Berikut ini penulis tampilkan ringkasan artikel berkaitan dengan asal-usul Gajah Mada. Beberapa pendapat menyatakan bahwa Gajah Mada berasal dari Sumatera, Bali, Kalimantan, NTB dan Mongol.
1. Versi Sumatera
Seperti kita kita ketahui bersama, jaman dahulu nama orang identik atau disimbolkan dengan nama-nama hewan. Raja Majapahit yang terkenal, H(ayam) Wuruk sendiri mempunyai arti ayam jantan. Beberapa nama hewan yang biasa dipakai antara lain : Mahesa(Sapi), Lembu, Kebo, Banyak (Angsa) dll.
- Menurut Nagarakretagama, Mahesa Cempaka memiliki anak Dyah Lembu Tal yang diberi gelar Dyah Singhamurti dan kemudian menurunkan Raden Wijaya.
- Ronggolawe, adalah putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja bupati Sumenep yang membantu Raden Wijaya saat dikejar-kejar tentara JayaKatwang.
- Mahesa Anabrang, atau juga disebut dengan nama Kebo Anabrang dan Lembu Anabrang, adalah seorang mantan senapati Singasari (Ketua Ekspedisi Pamalayu) yang membunuh Ranggalawe, pada saat Ranggalawe memberontak pada Majapahit.
- Dara Petak (harafiah berarti “Merpati Putih”) adalah istri kelima dari Raden Wijaya, merupakan putri dari Raja Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa dari Kerajaan Dharmasraya. Dari perkawinannya dengan Raden Wijaya, Dara Petak melahirkan seorang putra yaitu Kalagemet atau Sri Jayanegara yang menjadi penerus tahta ayahnya di Majapahit.
Diantara nama-nama yang menghiasi perjalanan sejarah Majapahit, bahkan kerajaaan sebelumnya ataupun sesudahnya nama-nama seperti itulah yang populer dipakai oleh golongan bangsawan maupun rakyat biasa. Karena hewan-hewan itu ada di lingkungan mereka. Kecuali untuk nama hewan gajah, kita hanya mendapati satu nama, yaitu Gajah Mada. Berangkat dari sinilah kalau Gajah Mada bukan orang Jawa. Satu-satunya pulau di Indonesia yang ada gajahnya adalah Sumatra. Yang pusat koservasinya ada di Way Kambas, Jambi. Dan kalau dilihat dari catatan sejarah, ada benang merah yang dapat ditarik.
Seperti tulisan diatas, Dara Petak berasal dari Kerajaan Dharmasraya. Kerajaan ini lokasinya ada di Sumatra, yang dapat disampaikan sebagai berikut :
- Kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Melayu Jambi adalah kerajaan yang terletak di Sumatra, berdiri sekitar abad ke-11 Masehi. Lokasinya terletak di selatan Sawahlunto, Sumatera Barat sekarang, dan di utara Jambi.
- Hubungan antara Mahesa (Kebo) Anabrang, Dara Petak, Dara Jingga, dan Jayanegara
Diduga kuat Mahesa Anabrang ini adalah orang yang sama dengan tokoh yang dikenal sebagai Adwaya Brahman atau Adwayawarman, ayah dari Adityawarman yang disebutkan dalam Prasasti Kuburajo I di Kuburajo, Limo Kaum, dekat Batusangkar, Sumatera Barat. Menurut pembacaan Prof. H. Kern yang diterbitkan tahun 1917, tertulis bahwa batu prasasti itu “dikeluarkan oleh Adityawarman, yang merupakan putra dari Adwayawarman dari keluarga Indra. Dinyatakan juga bahwa Adityawarman menjadi raja diKanakamedini (Swarnadwipa)“.
Dara Jingga adalah putri dari Tribuanaraja Mauliawarmadewa, raja Kerajaan Dharmasraya dan juga merupakan kakak kandung dari Dara Petak. Dara Jingga memiliki sebutan sira alaki dewa — dia yang dinikahi orang yang bergelar dewa — dinikahi oleh Adwaya Brahman, pemimpin Ekspedisi Pamalayu.
Nama tokoh ini juga ditemukan pada prasasti yang tertulis di alas arca Amoghapasa, yang ditemukan di Padang Roco, dekat Sei Langsat, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Menurut pembacaan R. Pitono, tertulis bahwa arca itu adalah hadiah perkawinan Kertanagara kepada seorang bangsawan Sumatera, dan “bersama dengan keempat belas pengiringnya dan saptaratna, dibawa dari Bhumi Jawa ke Swarnnabhumi” dan bahwa “Rakyan Mahamantri Dyah Adwayabrahma” adalah salah seorang pengawal arca tersebut.
Setelah berhasil melaksanakan tugasnya, Mahesa Anabrang membawa Dara Jingga beserta keluarganya dan Dara Petak kembali ke Pulau Jawa untuk menemui Kertanegara, raja yang mengutusnya. Setelah sampai di Jawa, ia mendapatkan bahwa Sang Kertanegara telah tewas dan Kerajaan Singasari telah musnah oleh Jayakatwang, raja Kediri.
Oleh karena itu, Dara Petak, adik Dara Jingga kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya, yang kemudian memberikan keturunan Raden Kalagemet atau Sri Jayanegara, raja Majapahit ke-2. Dengan kata lain, raja Majapahit ke-2 adalah keponakan Mahesa Anabrang dan sepupu Adityawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung.
Berdasarkan catatan-catatan diatas, dapat disimpulkan saat Mahesa Anabrang membawa Dara Jingga dan Dara Petak dari Sumatra ke Jawa, Gajah Mada termasuk dalam rombongan tersebut yang bertugas untuk mengawal keselamatan putri raja mereka sekaligus sebagai duta dari Kerajaan Darmasraya. Atau malah Gajah Mada ditugaskan secara khusus untuk menjadi pengawal pribadi Dara Petak. Yang akhirnya tinggal dan menetap di Majapahit mengikuti tuannya yang menjadi permaisuri raja Majapahit.
2. Versi Malang
Muhammad Yamin didalam bukunya yang berjudul Gajah Mada, Balai Pustaka, cetakan ke 6, Tahun 1960, hal 13 mengungkapkan tokoh ini sebagai:
“Diantara sungai brantas yang mengalir dengan derasnya menuju kearah selatan dataran Malang dan dikaki pegunungan Kawi-Arjuna yang indah permai,maka disanalah nampaknya seorang-orang indonesia berdarah rakyat dilahirkanpada permulaan abad ke-14.
Ahli sejarah tidak dapat menyusur hari lahirnya dengan pasti: ibu bapak dan keluarganya tidak dapat perhatian kenang-kenangan riwayat: Begitu juga nama desa tempat dia dilahirkan dilupakan saja oleh penulis keropak jaman dahulu asal usul gajah mada semua dilupakan dengan lalim oleh sejarah”
Jadi jelaslah menurut Muhammad Yamin, asal-usul Gajah Mada masih sangat gelap, walaupun ada dugaan bahwa Gajah Mada dilahirkan di aliran sungai Brantas yang mengalir keselatan diantara kaki gunung Kawi-Arjuna, diperkirakan sekitar tahun 1300 M.
3. Versi Bali
Keinginan untuk mengetahui asal-usul Patih Gajah Mada sebagai Negarawan besar pada Jaman Kerajaan Majapahit, telah lama menarik perhatian ahli sejarah, salah satunya I Gusti Ngurah Ray Mirshaketika mengadakan Klasifikasi Dokumen Lama yang berbentuk Lontar-lontar pada “perpustakaan Lontar Fakultas Sastra, Universitas Udayana” (sekitar tahun 1974. Salah satu lontar yang menarik perhatian diantaranya adalah lontar yang berjudul “Babad Gajah Maddha”. Lontar tersebut memakai kode: Krop.7, Nomer 156, Terdiri dari 17 Lembar lontar berukuran 50×3,5 cm, ditulisi timbal balik, setiap halaman terdiri atas 4 baris, memakai huruf dan bahasa Bali-Tengahan.
Lontar tersebut adalah merupakan Salinan sedangkan yang asli belum dapat dijumpai. Secara garis besar lontar babad Gajah Maddha tersebut berisikan
1. Asal Usul Gajah Mada
2. Gri Kresna Kapakisan dalam hubungannya dengan raja-raja Majapahit
3. Emphu keturunan pada waktu memerintah di Bali
Yang menjadi perhatian dari sekian lontar tersebut dan dapat dijadikan penelitian lebih lanjut adalah bagian yang menjelaskan tentang Asal-Usul/Kelahiran sang Maha Patih Gajah Mada.
“Tersebutlah Brahmana Suami-Istri di wilwatikta, yang bernama Curadharmawysa dan Nariratih, keduanya disucikan (Diabhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat. Setelah disucikan lalu kedua suami istri tersebut diberi nama Mpu Curadharmayogi dan istrinya bernama Patni Nuriratih. Kedua pendet tersebut melakukan Bharata (disiplin) Kependetaan yaitu :Sewala-brahmacari” artinya setelah menjadi pendeta suami istri tersebut tidak boleh berhubungan sex layaknya suami istri lagi.
Selanjutnya Mpu Curadharmayogi mengambil tempat tinggal (asrama) di Gili Madri terletak di sebelah selatan Lemah Surat, Sedangkan Patni Nariratih bertempat tinggal di rumah asalnya di wilatikta, tetapi senantiasa pulang ke asrama suaminya di gili madri untuk membawa santapan,dan makanan berhubungan jarak kedua tempat tinggal mereka tidak begitu jauh.
Selanjutnya Mpu Curadharmayogi mengambil tempat tinggal (asrama) di Gili Madri terletak di sebelah selatan Lemah Surat, Sedangkan Patni Nariratih bertempat tinggal di rumah asalnya di wilatikta, tetapi senantiasa pulang ke asrama suaminya di gili madri untuk membawa santapan,dan makanan berhubungan jarak kedua tempat tinggal mereka tidak begitu jauh.
Pada suatu hari Patni Nariratih mengantarkan santapan untuk suaminya ke asrama di gili madri, tetapi sayang pada saat hendak menyantap makanan tersebut air minum yang disediakan tersenggol dan tumpah (semua air yang telah dibawa tumpah), sehingga Mpu Curadharmayogi mencari air minum lebih dahulu yang letaknya agak jauh dari tempat itu arah ke barat. Dalam keadaan Patni Nariratih seorang diri diceritakan timbulah keinginan dari Sang Hyang Brahma untuk bersenggama dengan Patni Nariratih. Sebagai tipu muslihat segerah Sang Hyang Brahma berganti rupa (berubah wujud, ”masiluman”) berwujud seperti Mpu Curadharmayogi sehingga patni Nariratih mengira itu adalah suaminya.
Segera Mpu Curadharmayogi palsu (Mayarupa) merayu Patni Nariratih untuk melakukan senggama, Tetapi keinginan tersebut ditolak oleh Patni Nariratih,oleh karena sebagai pendeta sewala-brahmacari sudah jelas tidak boleh lagi mengadakan hubungan sex,oleh karena itu Mpu Curadharmayogi palsu tersebut memperkosa Patni Nariratih.
Setelah kejadian tersebut maka hilanglah Mpu Curadharmayogi palsu, dan datanglah Mpu Curadharmayogi yang asli (Jati). Patni Nariratih menceritakan peristiwa yang baru saja menimpa dirinya kepada suaminya dan akhirnya mereka berdua menyadari, bahwa akan terdjadi suatu peristiwa yang akan menimpa meraka kelak.kemudian ternyata dari kejadian yang menimpa Patni Nariratih akhirnya mengandung.
Setelah kejadian tersebut maka hilanglah Mpu Curadharmayogi palsu, dan datanglah Mpu Curadharmayogi yang asli (Jati). Patni Nariratih menceritakan peristiwa yang baru saja menimpa dirinya kepada suaminya dan akhirnya mereka berdua menyadari, bahwa akan terdjadi suatu peristiwa yang akan menimpa meraka kelak.kemudian ternyata dari kejadian yang menimpa Patni Nariratih akhirnya mengandung.
Menyadari hal yang demikian tersebut mereka berdua lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan asrama itu, mengembara ke hutan-hutan ,jauh dari asramanya tidak menentu tujuannya,hingga kandungan patni Nariratih bertambah besar. Pada waktu mau melahirkan mereka sudah berada didekat gunung Semeru dan dari sana mereka menuju kearah Barat Daya, lalu sampailah disebuah desa yang bernama desa Maddha. Pada waktu itu hari sudah menjelang malam dan Patni Nariratih sudah hendak melahirkan, lalu suaminya mengajak ke sebuah “Balai Agung” yang etrletak pada kahyangan didesa Maddha tersebut.
Bayi yang telah dilahirkan di bale agung itu, segera ditinggalkan oleh mereka berdua menuju ke sebuah gunung. Bayi tersebut dipungut oleh seorang penguasa didesa Maddha,lalu oleh seorang patih terkemuka di wilatikta di bawa ke wilatikta dan diberi nama “Maddha”.
4. Versi Kalimantan
Ada pula yang meyakini Gajah Mada itu merupakan orang Dayak, Kalimantan Barat, yaitu dari sebuah kampung di Kecamatan Toba, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sebagian masyarakat Dayak mempercayai hal ini berkaitan dengan kisah masyarakat Dayak Tobag, Mali, Simpang dan Dayak Krio. Tokoh Gajah Mada di Dayak Krio dikenal dengan nama Jaga Mada, namun masyarakat Dayak lainnya menyebutnya Gajah Mada, seorang Demung Adat yang mempunyai tugas mempersatukan nusantara.
5. Versi Nusa Tenggara Barat
Masyarakat Bima khususnya Dompu percaya kalau Gajah Mada berasal dari daerah ini, mengingat kemiripan dengan tokoh legenda masyarakat Dompu yaitu “ombu Mada Roo Fiko”. Ombu artinya Tuan, Mada artinya saya, Roo artinya telinga dann Fiko artinya lebar. Jadi ditafsirkan sebagi Tuan Mada bertelinga lebar (seperti gajah). Di daerah ini juga terdapat kuburan kuno yang diyakini sebagai makam Gajah Mada.
6. Versi Mongol
Ada yang mengatakan bahwa Gajah Mada merupakan perwakilan atau utusan tersamar Dinasti Yuan dari daratan Cina. Menurut seorang dosen Fisipol UGM, kota Trowulan yang merupakan pusat kerajaan Majapahit, jika dipindai dengan tekno remote sensing, maka akan nampak ada kanal-kanal yang disiapkan untuk jalur menuju laut.
LAIN-LAIN
A. Bunyi sumpah Palapa:
“Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring gurun, ring seram, tanjungpura, ring haru, pahang, dompo, ring bali, sunda, palembang, tumasik, samana isun amukti palapa”
“Apabila sudah kalah Nusantara, saya akan beristirahat, apabila Gurun telah dikalahkan, begitupula Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, pada waktu itu saya akan menikmati istirahat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar